Para Ulama Yang Membujang Hingga Akhir Hayat

News

BOGOR-Pernikahan merupakan hal yang didamba-dambakan oleh hampir setiap orang. Selain untuk melanjutkan keturunan dan saling melengkapi, dalam Islam menikah juga merupakan Sunnah Rasul yang sangat dianjurkan karena dengan menikah maka seseorang telah menyempurnakan/ menjaga setengah agamanya.

Tetapi dalam sejarah tercatat beberapa ulama yang lebih memilih untuk tidak menikah dikarenakan kecintaan mereka terhadap ilmu. Para Ulama ini lebih milih membujang karena mereka telah merasakan manisnya sebuah Ilmu Pengetahuan. Berikut ini adalah beberapa ulama yang tidak menikah karena merasakan manisnya menuntut ilmu dan mengajarkan ilmu sepanjang hidupnya.

Imam An-Nawawi

Nama lengkap Imam Nawawi ialah Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Muriy bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Muhyiddin An-Nawawi Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari. Ia dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Desa Nawa salah satu desa di bagian selatan Kota Damaskus yang hari ini menjadi Ibu kota negara Suriah.

Imam Nawawi ialah seorang ulama bermadzhab Syafi’i yang pakar dalam Ilmu Fikih dan Ilmu Hadist. Menurut ‘Alauddin bin Al-‘Athar murid Imam Nawawi, dalam sehari Imam Nawawi biasanya belajar 12 kali. Diantara yang ia pelajari adalah Ilmu Fikih, Ushul Fikih, Nahwu, Shorof, Hadits,dan juga Ilmu Ushuluddin. Pelajaran itu ia baca langsung dihadapan gurunya. Tidak hanya membaca ia juga selalu berhasil menjelaskannya dengan baik dan benar. Ilmu-Ilmu tersebut ia pelajari di Madrasah Rohawiyah di Kota Damaskus.

Sebagaimana Para pencari ilmu di zaman itu, Sang imam pun melakukan hal yang sama,yaitu mencari ilmu dari satu kota ke kota yang lain. Memasuki usia yang kesembilan belas ia ditemani oleh ayahnya untuk berangkat ke kota Damaskus, di kota ini ia mempelajari banyak sekali disiplin ilmu dan ia diajar langsung oleh para pakar dibidangnya.Imam Nawawi belajar di kota ini selama kurang lebih 2 tahun.

Pada tahun 651H sang imam pergi ke Mekah untuk menunaikan haji bersama dengan ayahnya. Setelah itu ia pegi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lamanya. Kemudian ia memutuskan untuk kembali ke Damaskus. Diriwayatkan ‘Alaudddin bin al’athar sang imam juga pernah mengunjugi Baitul Maqdis.

Pada tahun 676H sang Imam wafat di umur yang ke 45 dalam keadaan masih lajang. Dalam pembukaan kitab Al-Majmu, Imam Nawawi mengutip perkataan Khatib Al-Bagdadi yang berujar bahwa” Seorang penuntun Ilmu dianjurkan untuk membujang agar fokus belajarnya tidak terganggu oleh kesibukan rumah tangga dan mencari nafkah”. Meski tidak menikah, Imam Nawawi juga tidak mengingkari anjuran menikah sebagai Sunnah Rasul.

Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir Ath-Thabary. Adz Dzahabi mengatakan bahwa beliau adalah seorang imam, mujtahid, ulama di masanya, dan sang pemilik karya tulis yang sangat indah Beliau dilahirkan pada tahun 224 H (839 M) di Thabaristan tepatnya di Kota Amul. Kota ini merupakan kota terbesar di Thabaristan dan merupakan salah satu provinsi di Persia yang terletak di sebelah utara Gunung Alburz. Adapun Ath Thabari diambil dari nama tempat beliau dilahirkan yaitu di Thabaristan.

Ibnu Jarir menuntut ilmu setelah tahun 240 H dengan banyak melakukan rihlah (perjalanan jauh) sehingga beliau bertemu dengan para ulama di masanya. Beliau pun menjadi salah satu ulama mumpuni dan cerdas lagi mampu menghasilkan banyak karya tulis.Sungguh sulit untuk mencari ulama yang selevel dengan beliau di masanya. Beliau adalah ulama yang sangat produktif dalam membuat karya tulis dan mengajar. Beliau pernah menempuh perjalanan ke Kota Ray di Iran dan di sana beliau mempelajari serta meriwayatkan hadis. Di kota tersebut beliau juga berkesempatan untuk belajar ilmu sejarah dari Muhammad bin Ahmad Ad-Daulabi dan ilmu fikih dari Ibnu Muqatil.

Imam Ath-Thabari memiliki guru yang banyak karena seringnya rihlah yang beliau lakukan. Di antara kota kota yang pernah menjadi tempat persinggahannya adalah Baghdad dan belajar fikih syafi’iyah kepada Hasan Za’farani. Adapun di Bashrah, beliau belajar hadis kepada Abu Abdillah Ash-Shan’ani. Demikian halnya Kufah, Mesir Damaskus, dan yang lainnya. Beliau sempat kembali ke Thabaristan yang merupakan tempat kelahirannya, namun akhirnya kembali ke Baghdad dan menetap di sana.

Mengenai kecerdasan yang dimiliki Imam ath-Thabari itu Ibnu Atsir berkata, “Abu Ja’far orang yang paling tsiqat (terpercaya) dalam mengungkap sejarah. Di dalam tafsirnya sarat dengan ilmu dan legalitasnya.” Sementara Imam adz-Dzahabi berkata, Dia orang yang hafiz, jujur, imamnya para mufasir, fuqaha, baik ketika mufakat maupun ikhtilaf, pakar sejarah dan mengetahui qira’at serta ilmu tata bahasa.”

Imam al-Thabari wafat pada akhir bulan Syawwal tahun 310 H dalam usia 86 tahun. Beliau tidak meninggalkan istri ataupun anak karena beliau tidak pernah menikah. Beliau hanya meninggalkan ilmu dan kitab-kitab bermanfaat yang tidak akan terlupakan sepanjang masa diantara kitabnya ialah Tarikh Ath-Thabari dan juga kitab Tafsir Ath-Thabari yang mana banyak dijadikan rujukan hingga masa kini.

Imam Ibnu Taimiyah

Beliau adalah Syaikhul Islam Al Imam Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah beliau adalah Abul ‘Abbas. Beliau lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 661 Hijriyyah di Haran. 

Ketika berumur 7 tahun, beliau berpindah ke Damaskus bersama ayahnya dalam rangka melarikan diri dari pasukan Tartar yang memerangi kaum muslimin. Beliau tumbuh di keluarga yang penuh ilmu, fiqih, dan agama. Buktinya adalah banyak dari ayah, kakek, saudara, dan banyak dari paman beliau adalah ulama yang terkenal.

Di Damaskus Ibnu Taimiyah belajar pada banyak guru, dan memperoleh berbagai macam ilmu di antaranya matematika, khat (ilmu tulis menulis Arab), ushul fikih dan nahwu. Ibnu Taimiyah mendapat anugerah mudah menghafal dan sulit lupa. Hingga di usia muda dia dapat menghafal Al Qur`an. Kemampuannya dalam menuntut ilmu mulai terlihat pada usia 17 tahun. Dan usia 19, ia telah memberi fatwa terkait masalah-masalah keagamaan

Adapun beberapa karya yang diciptakan oleh Imam Ibnu Taimiyah diantaranya Majmu’ Al-Fatawn, Dar’u At-Ta’arudh Al-Aql wa An-Naql, Minhaj As-Sunnah An-Nabawiyah, dan Naqdhu At-Ta’sis. Kitab-kitab tersebut banyak dijadikan rujukan baik dimasa lalu maupun dimasa kini.

Ibnu Taimiyah juga pernah menjadi pemimpin perang dalam sebuah pasukan untuk mendapatkan kemenangan. Dikarenakan kecintaannya kepada ilmu dan juga terlibat dalam peperangan Ibnu Taimiyah memilih untuk tidak menikah.

Ibnu Taimiyah meninggal di penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Ibnul Qayyim, ketika dia sedang membaca Al-Qur’an. Ia berada di penjara ini selama dua tahun tiga bulan dan beberapa hari, mengalami sakit dua puluh hari lebih. Pada masa tuanya, dia menulis banyak kitab sekaligus mengisi waktunya. Dia dipenjara karena berseberangan dengan pemerintah di zamannya.

Dikutip dari:

Feature~Ahmad Ramadhan Nasution

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *